Rabu, 25 Juni 2008

liburan BETE...

gara-gara kakak melahirkan, liburanku jadi terganggu... lagi asyik2 nongkrong di vila yang dingin sambil berendam air panas... ujug2 disuruh pulang n nengok orang di rumah sakit...

nyampe RS, teu kunanaon geuning.

“follow the flow…”

Tak terasa sudah hampir lima tahun Azzam tak pernah bertandang ke sekolahnya yang dulu. Padahal Azzam sekolah di sebuah SMA Negeri di Kota Bandung. Wajar bila sahabat-sahabat Azzam jarang bertandang ke sekolah karena alasan jarak di luar kota. Tapi bagi Azzam? Kadang kesibukan kuliah dan dan organisasi menjadi penyebab utama. Sekarang, setelah menjadi dokter muda, kesibukan jaga dan belajar menjadi alasan utama Azzam untuk tak sering-sering bertandang ke sekolah. Sampai suatu hari, Nino, sahabat Azzam semasa SMA dulu mengajak Azzam untuk mengikuti pengenalan jurusan di sekolah tercinta. Bersyukurlah Azzam karena pada hari Sabtu RSHS libur sehingga Azzam bisa hadir di acara pengenalan jurusan tersebut.

Jujur saja, sedikit miris bagi Azzam bila harus memperkenalkan FK secara keseluruhan kepada adik-adik kelas Azzam. Pertama, dia belum menyelesaikan masa kepaniteraannya alias masih jadi dokter muda. Sama seklai belum tergambar seperti apa sih profesi dokter itu nantinya mau kemana? Tetapi semangat Azzam lumayan menggebu. At least, dokter tidak mengenal kata pensiun, dan tidak mungkin menjadi pengangguran terselubung. Itulah salahsatu modal pembicaraan yang akan disampaikan nanti seandainya adik-adik kelas Azzam akan bertanya. Toh, Nino sendiri belum menggenapkan pendidikannya di Teknik Industri yang dia pilih. Dia tetap lebih pede.

Sesampainya di sekolah, ternyata sudah hadir adik-adik kelas Azzam yang masih semester dua dari Jatinangor. Mereka lebih berkompeten untuk menjelaskan sistem perkuliahan dan kehidupan kemahasiswaan. Nah, Azzam dapet giliran menceritakan aspek dari prospek profesi. Tak terlalu susah bagi Azzam untuk menceritakan hal itu. Semasa kuliah, mas’ul selalu memberi amanah tertentu pada kegiatan OSPEK, Sanlat, PKM, ampe pembinaan BEM. Salahsatu isi dari kegiatan-kegiatan tadi adalah mengenai prospek profesi kedokteran itu. Ingat hal itu, Azzam jadi malu sendiri, ternyata amanah yang dulu diterimanya ‘setengah hati’ itu kini berguna. Azzam pun teringat dengan mas’ulnya dulu yang kini tengah mengikuti PTT. Hmmm, jadi kangen diskusi lagi.

Selesai pengenalan jurusan, Azzam tak buru-buru pulang. Keliling sekolah dan makan siang di kantin kayaknya perlu dicoba. Kantin yang dulu biasanya jadi tempat Azzam nongkrong kini sudah berubah banyak. Pokoknya Hade pisan lah sekarang sekolah Azzam. Azzam curiga, sebentar lagi sekolahnya akan mendapat gelar baru yang lagi marak dipake sama sekolah-sekolah pada umumnya : International School.

Sambil melahap pempek, Nino pun memulai percakapan.

“jadi gimana nih Pak Dokter? Kapan sumpah dokter?”

“masih dua semester lagi No, Insya Allah kalo sehat dan lancar…”

“eh, kamu sendiri No, cepetan selesein kuliahnya. Kebanyakan kuliah di Salman nih, jadinya ga lulus lulus. Kalo aku sih, alhamdulillah bisa lulus 8 semester malah jadi pemicu buat adik-adik biar ga berleha-leha lulus juga.”

“aku juga ga berleha-leha Zam. Amanah ‘langit’ dari DPD sangat membuatku harus melek abis. Ga ada waktu lah buat berleha-leha.”

Subhanallah, Nino yang menurut Azzam sudah waktunya ‘pensiun’ amanah dan mengurus tugas akhirnya, masih bejibun dengan amanah DPD. Duh, dulu di Jatinangor aja, dan baru tingkat DPC, Azzam sudah angkat tangan dan komplain berkali-kali kepada mas’ul serta murobbinya untuk mencabut dirinya dari amanah tersebut. Apalagi di DPD, Kota Bandung lagi. Dan sekarang, Azzam? Hampir 100% hidupnya hanya untuk menjadi dokter muda! Tanpa amanah sama sekali.

“Assalamu’alaikum Kang Nino… “

Dari arah gerbang sana muncul sesosok anak SMA. Pasti adik mentornya Nino. Biasanya sih begitu. Perkiraan Azzam tidak jauh. Hanif nama anak itu. Baru kelas dua sih, tapi Azzam melihat aura kedewasaan di wajahnya. Emang beda sih anak SMA zaman sekarang.

“eh, kenalin Dek, ini temen Kang Nino, namanya Azzam. Bentar lagi jadi dokter lho…”

“Amiin… bo’ong Dek, masih setaun lagi jadi dokternya. Masih lama koq… “

“oh, Akang bentar lagi udah bisa kerja dong. Jadi pengen nanya-nanya, boleh nggak Kang?”

“tapi yang saya bisa aja ya…”

“saya sih pengen tau aja arahannya harus ngapain sih Kang kalo jadi dokter itu? Ga Cuma buka praktek atau ngelanjutin sekolah lagi kan? Terus tarbiyahnya masih bisa jalan ga? Soalnya cenah kuliahnya kan bejibun, apalagi kehidupan profesinya. Belum lagi lingkungan dokter katanya rada-rada high class gitu ya? Papa saya dokter juga Kang, tapi kerjanya di Jakarta, bukan ikhwah lagi. Jadinya saya juga kurang tahu banyak.”

Duh, pertanyaan yang cerdas. Tapi terlalu mendalam juga ya. Agak bingung menceritakan kepada Hanif. Soalnya jujur saja, Azzam selama ini hanya ‘follow the flow’ alias jalanin aja dulu, lalu pungut setiap berlian yang tercecer dalam perjalanan itu, hehehe…. Pilihan spesialisasi pun belum terbersit dalam pikiran Azzam. Apalagi menata kehidupan tarbiyahnya setelah menjadi dokter. Betul juga sih. Harus menentukan arah dari sekarang.

Yang Azzam ingat adalah masa-masa daurah dulu di Jatinangor ketika dihadirkan alumni-alumni yang sudah jadi ‘orang’. Itu bisa dijadikan contoh. Jujur aja, buat Azzam, itu salahsatu keuntungan tarbiyah juga. Dengan minimnya dokter di keluarga Azzam, saudara-saudara yang terbangun dari ukhuwah di tarbiyah ini bener-bener nilai plus buat Azzam. Azzam ingat cerita Kang Gunawan sama Teh Hesty yang ga usah susah-susah cari kerja kesana-sini. Klinik punya Kang Imam sudah siap menunggu.

Buat spesialis, sebenernya Azzam udah tau beberapa peluangnya. Di beberapa bagian udah nongkrong residen ikhwah yang bisa ditanya apa aja. Yang belum ada sih konsulen ikhwah. Semoga ke depan kitalah yang menduduki posisi tersebut. Amin.

Kalo mau jadi birokrat, Azzam juga punya kenalan beberapa ikhwah ISMKI waktu ikut temu ilmiah dulu. Channel ke IDI sudah terbuka lebar. Begitu juga bila Azzam berniat mengabdi di daerah. Banyak ikhwah yang sudah mulai merintis karier dan dakwah di daerah.

Dipikir-pikir, sebetulnya Azzam sudah tahu lebih banyak hal dibanding teman-teman sekelompoknya. Mau jadi apapun, bisa, dan itu semua sudah Azzam tahu gambaran besarnya. So, masihkah harus berfikir untuk ‘just follow the flow’ sementara tarbiyah yang ia jalani selama ini telah menunjukkan arah yang begitu jelas? Mulai dari penjagaan diri, ruhiyah, sampai ke pilihan profesi?

Hati kecil Azzam mulai mengeluarkan suaranya. Subhanallah, Azzam teringat nasehat Ustadz Musyaffa dulu untuk berhati-hati karena jadi dokter biasanya mudah kegerus akibat pergaulannya. Hal itu memang bisa terjadi, Azzam sudah melihat beberapa faktanya. Akan tetapi, bila kita berpegang teguh pada tarbiyah kita, ga ada tuh yang namanya kegerus. Yang Azzam rasakan adalah manfaat-manfaat yang Subhanallah… membantu Azzam dalam kehidupan ini. Membantu Azzam dalam dakwah ini. Membantu Azzam dalam mewujudkan cita-cita. Membantu Azzam mewujudkan Islam sebagai Ustadziatul Alam, dan Insya Allah, Tarbiyah ini membantu Azzam untuk mencapai surgaNya.

Ya Allah, terima kasih Engkau telah menunjukkan jalan ini ke dalam kehidupanku. Berkali-kali hati ini berpaling, menyangkal, dan mengelak. Namun Kasih sayangMU tak terbatas hingga Hamba merasakan bahwa Engkaulah yang paling memahami apa kebutuhanku, memahami diriku, karena Engkau Pemilik aku. Sekali lagi, Thank You Allah...

Jangan pernah percaya dengan KEBERUNTUNGAN,

Jangan pernah percaya dengan KEBERUNTUNGAN,
Berusahalah, dan berjuang supaya Anda tidak SIAL


Ferry Syahroni…

Allen Andhika…

Albine Juan Carlos…

Muhamad Gindo Asmara…

Muhamad Erias Erlangga Ibrahim…

Sri Ayu…

Yoga Fathur Rochman…

Farah Razali…

Terdengar nyaring TOA alami dari mulut Bu Eni sang staf sekretariat bagian.

Itulah sederetan nama yang terpanggil lebih dulu pada yudisium tanggal 17 Januari lalu. Melihat track record kedelapan nama di atas, kita semua sudah yakin, mereka bukanlah duta dokter muda dengan nilai terbaik. Justru mereka adalah orang-orang yang tidak mendapat keberuntungan karena memperoleh nilai kurang dari 68. Angka ajaib ini merupakan batas minimal kelulusan yang selalu dikejar oleh setiap dokter muda.

Beberapa menit kemudian, duta dokter muda “tak beruntung” itu keluar dengan air muka yang beragam. Kita semua tahu bahwa hari ini mereka harus belajar keras untuk mempersiapkan remedial besok hari. Berbagai sikap dan empati diucapkan… tapi tak lama karena otak harus memilah konsentrasi untuk yudisium yang tentu saja lulus sampai tiba waktunya pemanggilan nama-nama duta doktermuda ‘sesungguhnya’.

Di antara belasan nama yang dipanggil lebih dulu, siapa sangka di antaranya terselip seorang Susan di sana… gue gitu lho!!! hohoho… tak disangka dan tak dinyana… co cweet… Nah, kalo yang dipanggil duluan disini bukan karena harus remedial, tapi orang-orang yang ‘beruntung’ mendapat nilai lebih tinggi dibanding teman-temannya yang lain. Duh deg-degan nih, nanti sebelum diumumkan kelulusan malah ditanya dulu patofisiologi DHF…

Kenapa sih, dari tadi selalu terselip kata ‘beruntung’ dan kata ‘tidak beruntung’ ? sulit dipercaya sih kalo ga dijalanin, tapi emang itu buktinya. Tidak selamanya orang yang rajin akan medapat nilai tinggi pada saat pendidikan profesi a.k.a. dokter muda a.k.a. ko-ass. Dan bagi yanng tidak punya kemampuan lebih pada otaknya, ya berharap dan berdoa saja semoga dewi fortuna selalu menaunginya. (kayak ngomongin diri sendiri euy!)

Saking kuatnya doktrin keberuntungan ini (gue juga bingung, kalo segitu banyaknya mahasiswa profesi yang nota bene putra-putri terbaik bangsa karena menembus passing grade yang lumayan tinggi saat SPMB alias lumayan pinter ini masih berpikiran ga ilmiah, atau emang mereka ngeliat fakta bahwa sistem penilaian di pendidikan profesi memang punya banyak celah sehingga bisa dimanfaatkan oleh “Lucky Luke” ini) ampe seorang senior yang gue tahu dulu aktif banget meneliti (dengan kata lain, pikirannya rada maju saeutik alias cukup kritis dan pintar) menyambut kedatanganku di rumah sakit dengan wajah bersemu negativistik (bahasa jermannya si haroream) dan bilang : ‘Jadi koas itu harus penuh keberuntungan.’ So, ga usah cape-cape belajar, yang penting pandai memanfaatkan peluang. Pesan ini yang tertanam kuat menjadi Long Term Memory… selainnya? Ga ada isinya tuh di otak ini.

Nah, blok IPD (Ilmu Penyakit Dalam) memang memberikan banyak anugerah kepadaku. Mulai dari mendapat preseptor yang baik ramah dan rajin menerangkan serta sedikit demi sedikit mengajarkan filosofi hidup. Disusul dengan kebaikan bysitter saat ujian dilanjutkan dengan penguji yang ramah dan memberi nilai yang cukup tinggi pula menjadikanku mendapat kehormatan berbaris di jajaran paling depan saat yudisium hari itu, tepat di depan Prof. Rully sebagai kepala bagian dan dr. Fifi sebagai koord. P3D. makin deg-degan nih, takut ditanya trus ketahuan ga bisa.

Setelah seluruh peserta yudisium masuh, Prof Rully memberikan sedikit speech. Gatau juga sih detailnya apa, tapi satu kalimat yang beliau sangat tekankan, yaitu “ There’s no lucky in the world”. Yah, Prof Rully bilang kalo pengen bisa ya harus well-prepared sehingga siap bila mendapat kasus jenis apapun. Ya.. ada benernya juga sih, tapi selama ini alhamdulillah selama menjalani dokter muda gue selalu belajar tepat apa yang dikeluarkan saat ujian. Ga terlalu well-prepared, tapi sungguh skenario Allah yang membuat pikiranku matching dengan pikiran tim pembuat soal.

Back to nama2 indah di atas. Banyak banget cerita kenapa mereka ga lulus. Ada yang emang nilai ujiannya minim banget gara-gara dapet penguji killer, ada juga yang emang karena salah panggil jadi gelagapan ga jelas saat ujian. Walhasil nilainya pun gelagapan. Ada juga yang dapet preseptor rada ‘baik’ n nilainya malah membuat angka-angka si ko-ass makin merosot.

Ironinya, kalau tiap bagian gue selalu mendapat ilham tiap mau ujian, beberapa temen di atas itu memang selalu meleset dari perkiraan. Apa ini yang namanya sial? (lagi-lagi anak efka yang katanya putra-putri terbaik bangsa masih mikir ga ilmiah, ga Cuma percaya keberuntungan, tapi juga percaya sial). So, jangan pernah percaya dengan KEBERUNTUNGAN, tetapi berusahalah dan berjuang supaya Anda tidak SIAL. Hehehe, dengan kata lain gue masih percaya kalo sial itu ada kan? Heuheuheu… udah ah, cape…

-Malemmalemabisbikinvisumfashion-

Aaagrhhh… ACTING!!!

People change!

Selain kata ‘beruntung’, frase di atas adalah salahsatu frase yang lumayan sering dilontarkan oleh senior dokter muda atau bahkan senior yang sudah menjadi residen. Begitu besarnya pengaruh ekosistem rumah sakit membuat orang bisa kelihatan aslinya atau malah kehilangan sifat asli. Mengenai mana yang benar (kehilangan, berubah, atau terlepas kedoknya) emang ga jelas… yang pasti ada perubahan (Δ [baca : delta] ) dalam diri manusia-manusia yang bergelut di rumah sakit.

Kalo urusan penampilan fisik atau perilaku, terlalu panjang dibahas disini, mungkin sesi berikutnya ya… Yang dibahas sekarang kayaknya emang rada garing dan cukup membosankan (eits, jangan underestimated dulu) yaitu tentang sistem belajar.

Buat adek2 yang sistem PBL si kayaknya udah biasa n jadi makanan sehari-hari dengan diskusi. Buat kami2, apalagi yang ga jago ngomong, ngemeng, atau ngecap, alias tidak logore atau memiliki kelainan mutisme, program diskusi (yang digelar tiap hari) menjadi siksaan tersendiri. Bukan karena bego atau retardasi mental, di otaknya udah kebayang jawabannya gimana, tetapi impuls ke N.XII yang ngatur pergerakan lidah rada-rada korslet, akibatnya gelagapan. Mungkin juga sih ada spasme di plica vocalisnya… atau juga sinaps-sinaps di otaknya belum terangkai sempurna membentuk pola pikir analitis yang cenah katanya dokter itu kudu bisa berfikir induktif.

Yang namanya sistem bikinan manusia emang ga sempurna. Iya ga? Pasti aja ada cacatnya. Akibat sebuah pembiasaan, kita tidak hanya terampil menghafal dan menguasai mekanisme sebuah sistem, tetapi juga tahu kelemahan sistem tersebut. Sialnya, emang balik ke nurani sih (duh… kuliah etdok deh… jadi inget preseptor di forensik ^ o ^ ). Kalo orang yang imannya tebel, tahu ada kelemahan, langsung dia cari solusinya supaya tidak makin lemah dan memberikan nilai guna lebih tinggi di masa depan. Iya kan? Nah, buat orang-orang yang imannya tipis, transparan, atau bahkan koyak (na’udzubillahi min dzalik) kelemahan sebuah sistem justru dimanfaatkan untuk menumpuk keuntungan pribadi.

Mungkin hal ini memang terjado pada kelompok kami di bagian Ilmu Kesehatan xxxx (maaph, untuk segala jenis norma dan nilai-nilai kebenaran yang makin jarang di muka bumi ini, nama bagian tersebut saya sensor). Alhamdulillah, kami mendapat seorang preseptor (pembimbing) yang sudah bergelar Profesor. Dari gelarnya aja jelas, beliau mempunyai ilmu yang sudah sangat wuihhh!!! Alias pinter pisan. Walhasil, tiap bimbingan sama beliau pasti deh keluar ilmu-ilmu ‘dewa’ yang membuat kami sedikit bahagia karena tidak perlu berpikir keras menduga-duga kemungkinan diagnosis pasien yang kami hadapi soale beliau doyang ‘nyuapin’ ga maksa kita mikir sendiri. Toh, beliau sepertinya tidak terlalu peduli dengan kasus yang kami hadapi, yang penting kami tau poin-poin pentingnya. Saat diskusi, yang penting adalah seberapa sering kami mengangkat tangan untuk ‘bertanya’ (sebenernya, kadang ga ngerti musti nanya apa, seringnya presentan membuat pertanyaan yang nanti dibagikan kepada tiap audiens buat acting nanti, hehehe…).

Awalnya coba-coba, ternyata berhasil!! Sambil ngotak-ngatik communicator atau desktopnya, prof sendiri kadang ngga ngeh kita nanya apa. Yang pasti dia selalu nanya : ini siapa yang lagi nanya? Dan nama itulah yang dicontreng di catatan kecilnya… dari sanalah kami tahu bahwa makin sering kami angkat tangan untuk bertanya, makin banyak contrengan di kertas beliau. Artinya makin besar poin yang kami kumpulkan.

Kembali ke penjelasan awal, sebuah sistem pasti ada lemahnya. Kami pun belajar ngemeng dan ngecap sebuah pertanyaan murahan menjadi bernada intelek dan terkesan njelimet. Padahal, sebelum presentasi, pertanyaan dan jawaban sudah kami tentukan sebelumnya. Hal tersebut berjalan dengan sangat mulus sampai tiap mau preseptoran (istilah yang kami gunakan saat akan bertemu dengan preseptor) kami selalu bilang mau ‘acting’…

Dan kayaknya sang profesor pun makin mengerti pola pikir kami. Sambil tersenyum simpul dalam hati beliau bergumam… aaaarrrggghhhh!!! ACTINGGGGG!! Hehehe… sorry prof… namanya juga mahasiswa…


We love U Prof… thanks untuk semua ilmu dan ilmu ‘dewa’ serta segala pengertianmu atas segala keterbatasan kami. Moga ilmu yang kami dapat bermanfaat… amin!!